Rabu, 01 Agustus 2018

Seperti Daun Jatuh - Franky and Jane

"Kadang cinta lebih indah setelah ia pergi".

Mendengar lirik itu pada sebuah lagu jadul berjudul Seperti Daun Jatuh karya Franky and Jane terbersit dua makna dalam kepalaku.

Yang pertama adalah perasaan lega karena belenggu rasa cinta telah pergi.

Yang kedua lebih pada rasa kehilangan yang memuncak setelah cinta itu pergi.

Mengapa bisa bermakna ganda demikian? Karena "lebih indah" di sana dimaknai sebagai apa? Indah karena cintanya telah lepas, atau indah dalam artian menguat?

Selasa, 03 Juli 2018

Makna Puisi Malam Lebaran Karya Sitor Situmorang

(Awas. Ini dari sudut pandangku seorang).


Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

~~~

Bagaimana bisa rembulan di malam lebaran nampak? Sedangkan hilal sendiri harus dilihat lewat teropong. Dan itu pun bulan tak bundar, hanya segaris saja.

Maka aku simpulkan, bulan di sana adalah sejenis cahaya yang berada di atas kuburan ... lebih jelasnya, sinar bundar itu bukan rembulan. Melainkan cahaya semacam orb yang dilihat oleh mata Sitor Situmorang di atas kuburan.

Ini sudut pandangku, Bung. Kalau kau mau protes, ayo berikan sudut pandangmu dahulu.

Dan diceritakan bahwa Sitor mampir ke rumah kawan sastrawannya; Pramoedya Ananta Toer, ketika malam lebaran dan Sitor Situmorang melintasi taman kuburan. Ini argumen penguatku kalau Sitor melihat cahaya yang sejatinya bukan rembulan, melainkan perwujudan roh yang bangkit dari kubur.

Minggu, 06 Mei 2018

Tiga Kata Reina Rinjani

"Sendu merayu merdu." -Reina Rinjani-

Tiga kata yang membuatku ingin menyemburkan kekaguman depan muka Tuhan.

Sendu tentu saja perasaan hati yang tak tenteram, kurang nyaman untuk senantiasa didekap di dada, namun agaknya berbeda dengan sedih yang datang karena alasan jelas, menarik airmata dari telaga hati yang tak kutahu bersumber di mana, namun kata "sendu" padaku lebih difungsikan untuk perasaan semi sedih yang biasa disebabkan oleh kesendirian yang terlalu lama.

Merayu. Kenapa pula sendu merayu, apa yang coba dia rayu? Dan, demi senar nyawa yang ingin aku putuskan dari pertalian nasib, "merayu merdu"?

Satu-satunya yang berhasil aku tangkap di kepala selepas membaca tiga kata itu, adalah putaran alunan piano yang mendetakkan nada selayaknya ombak yang ingin menangis di tepi pantai.

Aku rasa satu-satunya kesenduan yang merayu merdu bisa deskripsikan lewat lagu-lagu yang nyaman didengar meski terdengar sedih. Karena dari situ rasa sendu kau telan lewan telingamu dengan kemerduan yang terus mengalun sampai musik berakhir.

Ah ... tiga kata sederhana yang membuatku kagum. Sangat kagum.
 
Jombang, 6 Mei 2018

Selasa, 01 Mei 2018

Membaca Dolade Sararita (4) Syair Kalah Saat Patah


Syair Kalah Saat Patah

aku ini dinding batu
pada relief yang luka
aku ini debu jalanan
ditiup angin tanpa tujuan
aku ini serpihan wajah
tanpa tangan yang menjamah
lelah aku sudah
biar membusuk dalam tanah
3 Mei 2008
23:31
Ingin lekas meninggal. Karena sakit, tak jelas arah tujuan hidup, tak ada yang memberi kasih sayang yang menjamah hatinya, jiwa si orang pertama benar sunyi juga rapuh laksana relief berdebu yang luka. Karena merasakan hal itu terlampau kuat, lelahlah dia. Dan pada akhirnya, ia ingin mati membusuk dalam tanah.

Rabu, 04 April 2018

Membaca Dolade Sararita (3) Maya dan Nyata



Maya dan Nyata

mukamu mengaca
pada kubangan tinta
namun tiada
cuma hampa
hanya kelam
tinggal diam

parasmu berpose
pada cermin usang
namun tiada
cuma hampa
hanya hening
derap jam tinggal puing

tak mengapa
ujarmu mengikis kata
membelai muka bernyanyi senja
sinar tua menyepuh daging yang terbuka
tempat dulu
maya dan nyata
memutus rasa

kelam di dada
sakitnya di puncak semesta!


Purwokerto, 31 Maret 2008
09:30

Bait satu menjelaskan bahwa dia hanya kuasa mengaca di kubangan tinta, namun pada awalnya tiada kata yang keluar. Tiada perasaan yang tercurah menjadi kata-kata. Dan hanya hampa, kelam, dan diam saja menyelimuti.

Bait kedua menggambarkan orang kedua sedang berkaca pada cermin usang, namun tak ada refleksi memantul dari cermin itu. Dan kata, derap jam tinggal puing kurasa bermakna sebagai detik-detik waktu yang hanya menjadi puing-puing tak terpakai, alias, waktu sudah menjadi tidak berarti.

Bait ketiga, orang kedua mengatakan tak mengapa. Dugaku ialah kalimat itu bisa dilontarkan karena mereka sedang patah hati. Lalu baris sinar tua menyepuh daging yang terbuka memperkuat dugaanku yang mengira mereka sedang merasa sakit. (Bukankah patah hati itu sakit?). Dan pemilihan kata bernyanyi senja juga menjabarkan akan nyanyian kesedihan, menurutku. Karena pagi biasanya dipakai untuk lambang kelahiran, harapan, dan cahaya kehidupan. Sedang senja adalah pertanda sebuah kegelapan akan hinggap di langit malam. Yang paling membuatku yakin bahwa mereka patah hati adalah baris ini, memutus rasa.

Bait keempat menjelaskan betapa sakitnya si aku.

Sabtu, 31 Maret 2018

Membaca Dolade Sararita (2) Jadilah Kau!

dari segala ngilu
jadilah aku
dari segala perih
jadilah aku
dari segala sakit
jadilah aku

dari segala rindu
jadilah kau


Majenang-Purwokerto, sebelum 27 Februari 2019
19:18:59

Puisi yang ditulis oleh Johnny W. Sandjojo itu berjudul Jadilah Kau. Sebenarnya yang satu ini cenderung mudah dipahami, bahwa dari segala ngilu, perih, dan sakit, ia rasakan berkat rindu yang menjadi-jadi akan sosok si kau di dalam benak si aku.

Namun tentu, itu hanya tafsiranku pribadi. Tak terang apakah makna sebenarnya dari sang penyair.



Sabtu, 24 Maret 2018

Ingin Kudengar Lagi


Pada akhirnya kepala manusia menjadi galeri akan memori yang ia peroleh dari indra-indranya sendiri. Entah itu rabaan, pengelihatan, suara, rasa yang bergelenyar di lidah maka akan menghasilkan sensasi di hati.

Laju roda pikiran semacam itu membuatku tak betah menyendiri dalam pertapaan untuk menemukan inspirasi. Lagi pula puisi tak mengubah banyak hal dan yang lebih memilukan buatku, cacatan-cacatan itu tak bisa langsung kutenggerkan ke Facebook karena puisi-puisiku yang baru itu aku kirimkan ke media-media massa, baik online maupun koran. Peduli setan mengenai mereka muat atau tidak. Yang jelas, aku berjuang dulu, dan semoga termuat. Toh di tengah jalan aku tetap menyempurnakan gaya bahasaku.

Belakangan hati mendesak, ingin melesat ke Sidoarjo, melihat senyum kakak perempuanku yang lelah bertarung dengan perintah dan tanggung jawab kantor. Ingin juga aku adu panco untuk mengukur siapa yang terkuat dari tenagaku dan tenaga kakak lelakiku seperti yang sering kami lakukan ketika masih kanak-kanak. (Lebih tepatnya, kakak lelakiku remaja dan aku masih kanak-kanak ketika itu).

Namun kakak lelakiku di luar pulau. Jangkauannya terlalu membentang. *sigh

Kemarin-kemarin hari bertemu Cucuk Espe di kafe Boenga Ketjil saat ada bedah buku Mazmur dari Timur dan Ringin Contong karya seniman Jombang.

Awalnya, aku tak tahu siapa gerangan orang gondrong, kulit sawo matang dengan senyuman lebar yang menari di wajahnya itu. Sekilas, jika aku tidak diperkenalkan, barangkali aku akan menganggapnya kuli bangunan, karena kulihat, ototnya terlihat besar. Namun tentu dia ... seniman tulen.

Tunggu, tunggu. Apa maksud dari 'seniman tulen', memangnya ada seniman gadungan? Entahlah. Peduli setan akan semua itu. Karena kebanyakan seniman yang cukup tulen merasa enggan disebut-sebut sebagai seniman.

Yang lucu pada pertemuanku itu, adalah ketika aku tak tahu wajah Cucuk Espe, namun lebih mengenali namanya (karena aku membaca wiki dan menemukan nama beliau di daftar sastrawan Indonesia).

Lalu tentu aku menyapanya, dan memberikan bukuku di sana kepada Cucuk Espe dan para orang yang aku anggap senior di bidang perpuisian di sana. Hehe, di tempat itu memang aku mengaku-ngaku sebagai pemula dan junior di hadapan mereka. Dan pada kenyataannya memang, aku adalah pemula dan junior di hadapan mereka.

Wujud-wujud mereka yang datang di bedah buku beragam, namun ciri khas seperti gondrong, eksentrik, dan sifat luwes menyelimuti kepribadian mereka. Ada yang membuatku sering melirik moderator ketika bedah buku dilaksanakan. Yakni rambutnya yang lurus, panjang, dan ia ikat dengan rapi menurutku estetik sekali. Dan kudapati di lengan kanannya ada tato melingkar hitam dengan corak yang ... aku sedikit lupa, namun yang jelas indah juga.

Kemudian aku berpikir dalam jangka waktu tiga detak jantung. Tentang ... mengapa aku membahas ini? Terlebih menulisnya dengan begitu panjang. Apakah menulis telah menjadi terapi buatku dalam menjernihkan kolam penderitaan di dada? Hm. Peduli setan.

Yang jelas aku rindu kakak-kakakku. Ingin memeluk mereka lagi. Ingin mengerjai mereka kembali seperti masa silam. Namun waktu terlampau sialan karena merubah daun hijau muda menjadi kekuningan.

Agaknya mustahil buat kami bermain selayaknya anak-anak lagi. Namun hei, aku tak setua saudara-saudaraku. Jika mengikuti arus umur, mereka seharusnya sudah sampai di lembah kedewasaan yang cukup jauh serta licin dan menyebalkan. Sedang aku baru memasukinya di hari kemarin.

Intinya, pelayaranku untuk mengejar benak dewasa mereka sudah cukup tertinggal. *sigh ... apa benar aku butuh saudara yang jarak umurnya dekat? Hm, kurasa dua itu sudah cukup berisik. Dan kebisingan mereka masih ada di taraf membahagiakan. Namun belakangan ini, kebisingan itu sudah jarang kudengar.