Maya dan Nyata
mukamu mengaca
pada kubangan tinta
namun tiada
cuma hampa
hanya kelam
tinggal diam
parasmu berpose
pada cermin usang
namun tiada
cuma hampa
hanya hening
derap jam tinggal puing
tak mengapa
ujarmu mengikis kata
membelai muka bernyanyi senja
sinar tua menyepuh daging yang terbuka
tempat dulu
maya dan nyata
memutus rasa
kelam di dada
sakitnya di puncak semesta!
Purwokerto, 31 Maret 2008
09:30
Bait satu menjelaskan bahwa dia hanya kuasa mengaca di kubangan tinta, namun pada awalnya tiada kata yang keluar. Tiada perasaan yang tercurah menjadi kata-kata. Dan hanya hampa, kelam, dan diam saja menyelimuti.
Bait kedua menggambarkan orang kedua sedang berkaca pada cermin usang, namun tak ada refleksi memantul dari cermin itu. Dan kata, derap jam tinggal puing kurasa bermakna sebagai detik-detik waktu yang hanya menjadi puing-puing tak terpakai, alias, waktu sudah menjadi tidak berarti.
Bait ketiga, orang kedua mengatakan tak mengapa. Dugaku ialah kalimat itu bisa dilontarkan karena mereka sedang patah hati. Lalu baris sinar tua menyepuh daging yang terbuka memperkuat dugaanku yang mengira mereka sedang merasa sakit. (Bukankah patah hati itu sakit?). Dan pemilihan kata bernyanyi senja juga menjabarkan akan nyanyian kesedihan, menurutku. Karena pagi biasanya dipakai untuk lambang kelahiran, harapan, dan cahaya kehidupan. Sedang senja adalah pertanda sebuah kegelapan akan hinggap di langit malam. Yang paling membuatku yakin bahwa mereka patah hati adalah baris ini, memutus rasa.
Bait keempat menjelaskan betapa sakitnya si aku.